Shalsa Nabila

Pengagum kata-kata dan pemimpi sepenuhnya.

Tuesday 28 January 2014

Suara


Sambil menyeruput teh yang kemanisan, saya mendengarkan kamu berbicara tentang ini itu. Untuk mendramatisir, saya ingin tuliskan juga kalau di luar itu hujan. Tidak ada yang lebih baik dibanding mendengar suaramu dan suara hujan. Dan kamu masih saja berbicara tentang ini itu. Kadang saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, tapi saya mengangguk saja. Ah, mungkin sekarang sudah hampir tengah malam, dan kamu pun harus undur diri. Tapi tidak apa-apa toh besok kita bisa bertemu kembali. Malam itu saya tidur nyenyak dengan suaramu yang terus berputar-putar di kepala.
Sebenarnya, setiap malam itu kamu tidak pernah sendirian. Kadang ada perempuan-perempuan bersuara centil maupun laki-laki bersuara berat yang menemanimu. Dan malam ini kamu berbicara ini itu dengan perempuan bersuara centil. Ih, saya tidak suka! Walau begitu, saya tetap ingin sekali mendengar suaramu. Saya selalu ingin mendengar suaramu.

Mungkin sudah lima bulan saya kecanduan mendengarkanmu berbicara tentang ini itu. Sampai akhirnya, malam ini saya tidak lagi mendengar suaramu. 'Oh, mungkin kamu memang sedikit terlambat' pikir saya mula-mula. Hingga tengah malam, suaramu masih belum juga terdengar. Bahkan hingga besok dan lusa dan setelahnya, kamu tidak pernah ada lagi. Yang terdengar hanyalah suara serak laki-laki tua yang membicarakan politik yang tidak pernah saya pahami.

Tanpa sadar saya meneteskan air mata. Saya menangis dan menangis dan marah. Saya marah! Saya melempar barang apa saja di dekat saya. Saya memukul-mukul sofa dan berteriak.
Ibu segera menghampiri dan berkata, "Nak, tidak apa-apa, mungkin kontrak tayangannya sudah habis, Ibu selalu rekam untuk kamu kok."

Iya,
saya tuna netra, dan jatuh cinta pada suara dari televisi.

0 Kommentarer:

Post a Comment