Shalsa Nabila

Pengagum kata-kata dan pemimpi sepenuhnya.

Friday 28 June 2013

Tiga Juni


#1 Pertemuan

Sebuah kereta dari stasiun tua yang penuh lampu membawa saya pergi ke tempat yang begitu jauh dan asing, relnya menjulur sangat panjang, melewati burung-burung yang bermigrasi dan beratus-ratus kanvas senja. Di atas kereta ini, malam yang temaram meneteskan derai sewarna nila yang hanyut di muara tak bernama, meminta untuk kau temukan. Dan pada suatu saat antara langit selepas subuh dan sore yang penuh kabut, saya bertemu denganmu.

Hanya sesaat.

Sesaat yang indah, seperti senja sewarna tembaga yang bergegas ditelan malam. Seperti senja itu, kamu pergi menulusuri kabut untuk melepas duka, meninggalkan saya sendiri yang larut dalam lampu-lampu kota  yang menyiratkan derita. Kota apa  ini, saya tidak tahu, yang jelas kata-kata di kota ini hanya seharga asap pabrik yang membumbung tinggi yang menjadikan senja begitu melankolis, menyebabkan saya mengenangmu sampai tertidur dan membawanya pada mimpi tentang kita yang mewarnai hujan dengan warna-warna pastel.


#2 Smara atau Lara

Kereta ini menuju Juni yang membawakan saya pertanyaan besar mengenai di mana rel kereta ini akan habis. Juni yang seharusnya kemarau menanggalkan birunya langit dan membuatnya mendung, meninggalkan embun pada kaca jendela dan hanya menyisakan lanskap yang mengabur. Seperti juga aku, kamu mencoba mereka-reka sesuatu di balik lanskap yang mengabur itu. Tetapi anehnya, kita malah menangis. 

Barangkali, kita memang tidak perlu mereka-reka ada apa di balik lanskap yang mengabur, apakah di luar sana itu burung merpati atau burung gagak. Seperti tidak perlu saya pertanyakan, apakah di peron nanti saya akan bertemu denganmu atau tidak.

Apakah malam nanti bulan akan retak atau tidak.

Juga, apakah esok akan ada smara
atau lara.


#3 Nyata

Masih juga kita berusaha menuliskan duka dengan tinta yang hampir kering, sedang kata telah lelah menjelma kereta imajiner tempat kita berlari dari kereta nyata yang penuh sesak dengan orang-orang yang wajahnya ditekuk. Kereta yang  lebih nyata, yang menghapus mimpi kita sebelum fajar, agar kita terbangun dan merasai angin subuh yang menusuk tulang. Kereta itu juga, yang membawa kita dari kota ke kota, mengajarkan kita kata demi kata, agar kita tahu bagaimana cara mengagumi senja dan menuliskan kenangan.

Ya, kita harus bergegas
turun dari kereta imajiner ini,
sebelum kita lupa bagaimana birunya langit.


0 Kommentarer:

Post a Comment