Sambil
menyesap udara malam di pinggiran kota yang begitu sesak, sekarang akan
kukenangkan pertemuan kita setahun silam. Masihkah kamu mengingatnya? Ah,
sepertinya tidak. Tapi tidak apa-apa, karena bagaimanapun juga aku akan terus mengenangnya bersama
perasaan getir yang selalu kubawa setiap
kali mengenangmu.
Kita
bertemu di desa kecil itu, di lereng gunung. Mungkin seperti juga aku, desa itu
membuat perasaanmu menjadi begitu melankolis. Di sana, baru sekali itu aku
merasakan hawa dingin yang teramat sangat. Dan baru sekali itu juga aku
merasakan sebuah perasaan yang begitu ganjil kepada seorang laki-laki. Perasaan
ganjil yang sampai sekarang pun tidak bisa aku pahami. Kamu tahu, aku masih
bisa mengingat dengan jelas hawa dingin yang kurasakan kala itu—yang dibawa
oleh angin gunung yang terus-terusan berhembus, kemudian sepatah atau dua patah
kata darimu yang tiba-tiba itu langsung merembes masuk ke dalam diriku, membuat
perasaanku menjadi hangat. Mungkin mirip kaus kaki yang kukenakan sebelum tidur—yang
ukurannya kecil namun bisa menghangatkan tubuhku kala itu. Kurang lebih seperti
itulah.
Mungkin
bagimu, kenangan-kenangan singkat akan desa itu tidak begitu berarti. Kenangan
akan desa yang memberikan kita hawa Subuh yang begitu dingin—yang membikin
badanmu gemetar, desa yang memberikan kita lukisan matahari terbit dengan warna
serupa tembaga yang terbakar di atas langit, desa yang merupakan tempatnya
bintang berserakan. Ya, mungkin bagimu
kenangan-kenangan semacam itu tidak begitu berarti. Tapi mungkinkah ada sedikit
ruang di memori otakmu untuk mengenangkan saat-saat kita melewati keheningan di
atas gunung itu, gunung yang kita lewati dengan menembus kabut yang tidak bagitu
tebal namun cukup untuk membuat pipimu dingin. Sebuah keheningan yang membuat
segalanya menjadi begitu haru, seiring dengan bau belerang yang kamu hirup
pelan-pelan.
Sambil
mengirup udara malam yang tersisa, akan kukenangkan akhir perjalanan kita.
Ketika kita harus pulang kembali ke Jakarta. Di atas bus itu, di antara
warna-warni lampu jalanan dan deru bisingnya kota Jakarta, ada perasaan
melankolis yang mendadak membuncah dalam diriku. Aku tidak ingin perjalanan ini
segera berakhir. Tidakkah kau ingat? Tentang aku yang melihatmu, melihatmu
dengan penuh rasa sedih.
Ah,
sepertinya kau tidak ingat.
Aku
menikmati perasaan getir saat mengenangmu ini, seperti aku menikmati udara
dingin yang menusuk tulang di desa itu.
Di
sepanjang hidupku, kamu akan selalu ku catat sebagai orang pertama yang
benar-benar aku kagumi. Juga sebagai orang pertama yang membuatku menulis
tulisan sepanjang ini, hanya untuk mengenangkan sebuah kegetiran.
2 Kommentarer:
Ciee shalsaaa *uhuk uhuk
gue baru baca nih, berasa banget nulisnya tulus dengan sepenuh hati
Eh Rani, tumben!
Iya dong, tulisan-tulisan yang lain juga nulisnya sepenuh hati kok ;))
Post a Comment